Sunday, December 31, 2006

Mengalir

Hidup itu mengalir. Sewaktu masih kecil, hidup itu terasa hanya sekedar bergantinya waktu siang dan malam. Siang menyenangkan karena dapat bermain-main. Malam menakutkan karena gelap, sunyi dan senyap. Dari hari ke hari hidup itu selalu berjalan demikian. Pergantian dan perputaran antara siang dan malam, antara kesenangan dan ketakutan.
Pernah pada suatu masa, hidup itu dirasakan sebagai sebuah perjuangan, yang oleh karena itu selalu menuntut kerja keras. Keberhasilan suatu perjuangan tidak lain ditentukan oleh apa yang kita perbuat, apa yang kita kerjakan, atau apa yang kita usahakan. Berbagai literatur memang berkata demikian. Perhatikanlah pada lembar demi lembar buku-buku pengetahuan, teori-teori yang disajikan oleh para ahli, maupun pengalaman dalam pembuktian-pembuktian empirik dari berbagai laporan penelitian. Bahkan lebih dari itu, para senior di organisasipun memberi doktrin yang lebih dahsyat: sukses hanya diperoleh dari suatu perjuangan. Oleh karena itu berjuanglah ... berjuanglah ... berjuanglah dan ... teruslah ... berjauang !
Maka oleh karena itu dengan gagah kita membusungkan dada, menyingsingkan lengan baju, sambil mengepalkan tangan, dan berteriak: ayo mari berjuang !
Teringat ketika menggeluti dunia kemahasiswaan, makna hidup menjadi kian radikal, menghunjam ke akar yang paling dalam, hidup itu ditentukan oleh diri kita sendiri sebagai manusia. Tuhan hanya mengikut saja kehendak hambaNya. Kalau toh ada manusia yang tersesat, ya ... salah sendiri. Tuhan tidak menghukum atas kesalahan manusia. Justeru manusialah yang menghukum dirinya sendiri karena memilih jalan yang salah. Itulah sebabnya manusia harus menuntut ilmu, agar tidak sesat di jalan, agar tujuan perjuangannya berhasil, untuk meraih kesuksesan.
Entah sudah berapa banyak buku yang dilumat, berapa guru telah memberikan pengajaran, serta berapa sekolah sudah diikuti. Aneh ! ... pengalaman berkata lain. Kehidupan sehari-hari justeru menyuguhkan tontonan yang berbeda. Ternyata perjuangan tidak selalu membawa hasil, bahkan sering mengakibatkan kegagalan. Sebaliknya, kesuksesan bukan semata-mata diperoleh dari sebuah kerja keras, atau rekayasa ilmu pengetahuan.
Perhatikanlah, tonggak monumental sejarah yang gilang-gemilang kerap muncul dari sesuatu atau kejadian yang tidak sengaja. Sementara kegagalan, sering tiba-tiba saja hadir justeru di atas perencanaan yang matang, buah dari perjuangan panjang yang sangat mengagumkan.
Begitulah dunia. Itulah kehidupan, mengalir seperti air, melayang seperti angin. Hidup dan kehidupan tanpa ada yang mampu menduga sebelumnya. Hanya Tuhan sajalah yang Maha Mengetahui tentang apa yang akan diperoleh manusia kemudian. Apapun yang kita terima, adalah yang terbaik bagi diri kita sendiri. Mustahil Tuhan berbuat aniaya kepada hambaNya. Oleh sebab itu Fa bi ayyi ala i robbiku ma tukazziban. Maka bersyukurlah, nikmat yang bagaimana lagi yang patut kita dustakan ? [Edited 07-07-07]

Saturday, December 30, 2006

Era Internet 24 Jam di Rumah

Komputer pertama yang ada di rumah kami jenis 386DX, masih pakai DOS sebelum zaman Windows. Waktu itu harganya setara dengan sebuah mobil Hijet 1000 second milik senior saya, sekitar lima juta rupiah. Wah, tergila-gila, enak bener rasanya punya komputer. Siang malam ketak ketik di depan komputer. Tapi pertama saya mengenal komputer sebetulnya jauh sebelum itu, yakni ketika yayasan wakaf Paramadina baru berdiri, saat kantornya masih di Mampang Prapatan. Mungkin prosesornya 286, disketnya masih yang besar berwarna hitam. Sejak itu semua pekerjaan diselesaikan dengan komputer. Tidak lagi pakai mesin ketik. Pokoknya computer minded. Di kantor, saya adalah satu-satunya pegawai yang  mengerti komputer, walau pengetahuan saya hanya sebatas menggunakan WS4 (Word Star, word processor  paling ngetop saat itu). Satu unit PC yang dibeli oleh kantor justeru karena provokasi yang saya lakukan. Waktu itu, untuk mengetahui perkembangan komputer, seseorang harus rajin ke Glodok. Pusat segala macam urusan komputer. Saya tidak pernah ketinggalan memantau hiruk pikuk dan bisik-bisik pasar Glodok dari tahun ke tahun. Begitulah seterusnya, perkembangan komputer selalu diikuti. Namun sejak zaman beralih ke era Pentium, saya sudah tidak ikut lagi. Satu persatu perkembangannya mulai tidak teramati, apalagi untuk berpartisipasi. Mengapa ? Ya, karena banyak urusan lain yang lebih menarik untuk digeluti, baik kegiatan yang bersifat idealisme, sosial, keagamaan, dan juga cari uang. Perhatian terhadap komputer baru tumbuh kembali saat muncul internet di Jakarta, mungkin tahun 1997an. Namun berhubung cost nya mahal, lagi pula ada kekhawatiran mengenai dampaknya terhadap anak-anak, maka hasrat untuk comeback ke jalur komputer jadi luntur, kemudian padam. Terkadang muncul juga rasa prihatin melihat komputer di rumah yang berdebu, tidak terurus. Anak-anak memang sudah mulai akrab menggunakan komputer, tetapi untuk urusan perawatan, kelihatannya masih jauh. Suatu ketika tiba-tiba saya terhenyak melihat anak-anak sudah besar dan mulai rajin memanfaatkan komputer untuk keperluan sekolah. Lebih dari itu bahan-bahan belajar, rupanya harus dicari dan mereka peroleh dari internet. Untunglah di rumah sudah disediakan fasilitas dial up telkomnet instan. Kapan saja anak-anak membutuhkan, mereka dengan mudah memanfaatkannya. Sewaktu rajin kuliah di pasca sarjana BiNus, banyak pengetahuan saya yang benar-benar baru. Dari sana memang tumbuh  motivasi untuk ber IT kembali. Wawasan mengenai komputer yang dulu pernah ada, menjadi kian luas, tidak hanya melihat komputer sebagai perangkat kerja pengganti mesin ketik. Perhatian berubah sudah sampai ke tingkat yang di level atas, bahkan ikut bergaul dengan kalangan elit IT, setidaknya melalui Milis. Tahun  2005 bahkan tumbuh keinginan untuk menapak kesuksesan amazon.com. Kawan-kawan di PT. Cakrawala Telematika Indonesia mendorong untuk mengikut model yahoo!, MicroSoft, atau Indosat. Tapi saya sadar benar, itu tidak gampang. Kawan-kawan yang berfikir demikian bahkan belum pernah melakukan studi kasus terhadap perusahaan-perusahaan besar yang sukses itu. Sekali lagi waktu di BiNus, diskusi dan pembahasan mengenai hal itu sudah kami lakukan. Kami sudah cukup tahu seluk beluknya. Orang tidak banyak yang tahu sisi mana yang menjadi andalan yahoo!. Pelaku bisnis atau praktisi IT di Indonesia umumnya juga tidak mengerti dimana peluang yang sebenarnya ada. Sama seperti sektor yang lain, komputer (atau sekarang ICT) lebih banyak menjadi simbol mode dan cermin konsumerisme masyarakat. Perhatikanlah bagaimana orang datang ke pameran, atau lihatlah komposisi stand pameran itu sendiri. Semuanya, mengedepankan hal-hal yang bersifat consumers product.
Suatu ketika anak saya Eni dan Ika menyentakkan kembali kesadaran saya, tatkala melihat mereka ber friendster ria. Padahal  dua hal yang sebetulnya sangat saya tutup-tutupi agar tidak dikenal oleh anak-anak, yakni: Ragnarok dan Friendster. Saya kecolongan, sekarang semua sudah terbuka. Sebagai orang tua saya sadar tidak mungkin menutup mata mereka untuk secara bebas melihat dunia. Tidak ada lagi benteng di rumah saya yang dapat mebghalangi serangan luar. Akses internet sudah terbuka 24 jam. Saya harus berfikir bagaimana membuat arah, agar segala yang berbau IT dan internet itu menjadi faktor manfaat bagi kehidupan ini. Saya ingat Ono Purba (suhu internet di Indonesia) waktu pertama kali bertemu dulu, menurut dia berdasarkan penelitian, internet itu manfaatnya jauh lebih besar dari mudharatnya.

Friday, December 09, 2005

Komputer Baru: Migrasi ke Apple Macintosh

Sampai dengan tahun 2005, di rumah terdapat dua komputer PC, semua branded, Compaq dan IBM. Anak-anak minta agar komputer itu diganti, karena yang ada saat ini semua sudah bermasalah, lambat, kena virus, dan masih Pentium II. Selain dua PC masih ada dua notebook, Compaq dan Accer, tapi sama saja dengan yang PC, sering merepotkan, bahkan menjengkelkan. Setelah survey sana sini dan rundingan sama anak-anak, kita bersepakat untuk beli komputer baru tapi sekalian migrasi ke Macintosh. Maka jadilah beli iMac G5 terbaru. Katanya baru dua minggu di Jakarta. Harganya USD 15,000an, dibayar dengan fasilitas EazyPay Citibank.
Wah, ini benar-benar revolusi. Semua jadi bingung. Biasa sudah hafal Windows, tiba-tiba pindah ke OS yang belum dimengerti sama sekali. Beberapa hari pokoknya belajar komputer lagi, seperti dulu waktu baru kenal Windows. Anak saya Eko, mungkin karena dia yang paling tua lebih cepat menyesuaikan diri. Ika agak cuek, tapi sepertinya dia lebih cerdas memahami persoalan. Sedangkan Eni lebih duluan menikmati fasilitas dengan berinternet ria, download lagu-lagu, dan mencari gambar yang dia sukai. Esa, barangkali karena paling kecil atau karena tidak suka rebutan, masih nonton saja.
Rupanya ada perbedaan, dulu waktu belajar Windows memang mulainya dari buta, nggak bisa sama sekali. Sedangkan sekarang belajar OS Tiger hanya mengadaptasi. Selain dari itu, kalau dulu sekitar 20 tahun yang lalu, Macintosh terlalu ekslusif. Sekarang sudah lebih menyesuaikan diri dengan perkembangan pasar yang dikuasai IBM, Intel, dan Microsoft. Jadinya selain lebih murah, dan ternyata sudah lebih gampang mempelajarinya. Pokoknya mulai sekarang pindah ... pindah ... pindah ... ngapain melongok ke jendela melulu, mending makan buah.

Wednesday, November 02, 2005

Andromeda Muhammad Farid K

Putra pertama kami diberi nama Andromeda Muhammad Farid Kartika (baca: kartiko). Kata Andromeda diambil dari nama galaxi di angkasa raya. Galaxi Andromeda adalah gugusan bintang-bintang yang selalu menjadi patokan atau pedoman bagi para ahli antariksa untuk mengetahui posisi benda langit lainnya. Penggunaan nama itu diniatkan sebagai do'a agar kelak dia menjadi pedoman bagi lingkungan masyarakatnya. Dalam sejarah kemanusiaan, manusia yang menjadi pedomanan, adalah Muhammad bin Abdullah bin Abdul Mutholib, Rasulullah SAW, manusia sempurna, manusia teladan. Kata Farid hanya sebagai turunan simbolik dari nama ibunya Siti Faridah. Sedangkan Kartika diambil dari bahasa Jawa Sansekrit yang berarti Bintang. Memahami nama ini dapat dilakukan secara terbalik, dari belakang sebagai: Bintang Siti Faridah yang berdo'a agar suri tauladan pada diri Muhammad SAW hadir di dalam putra kami Andromeda.

Ireka Arsyidah Qurniati

Putri kami yang kedua, bernama Ireka Arsyidah Qurniati. Kata Ireka diambil dari ungkapan kegembiraan orang Yunani kuno ketika mereka memperoleh sesuatu yang sangat diharapkan, yakni: eureka ! Spelling dan pengucapannya diadaptasi sesuai dengan lidah orang Indonesia menjadi Ireka, dan bukan Erika. Bagi kami, kegembiraan yang dimaksud adalah dengan lahirnya seorang anak perempuan, melengkapi putra pertama laki-laki. Kata Arsyidah diberikan oleh ibunya, berarti: pintar, atau cerdas. Tentu dimaksudkan sebagai do'a agar dia nanti menjadi orang yang cerdas, pandai, dan berilmu pengetahuan. Nama tersebut akan lebih bermakna jika dihubungkan dengan kata Qurniati, juga juga diambil dari bahasa Arab: qorona, yaqronu, qur'anan, dari kata dasar yang melahirkan kata qur'an dan al-Qur'an. Salah satu artinya adalah mengumpulkan. Al-Qur'an sendiri adalah kumpulan ayat-ayat, atau sering disebut mushaf. Penggunaannya menjadi nama dimaksudkan sebagai do'a, agar Ireka kelak selain pintar, dia diharapkan juga menjadi pemersatu di lingkungannya. Bukan pemecah belah, pembuat onar, atau biang kerok.
Selain dari itu pengambilan kata qurniati, dimaksudkan juga sebagai kenang-kenangan dari sebuah kegiatan yang pernah saya lakukan di Paramadina bersama alm. Prof. Dr. Nurcholish Madjid, yakni kegiatan: Studi Al-Qur'an. Pada waktu itu, saya bersama: Abudinata (sekarang Wakil Direktur Pascasarjana UIN), Dede Rosyada (sekarang Dekan Fakultas Tarbiyah UIN), dan Rusydy Zakaria (sekarang dosen UIN) menyusun bahan untuk acuan dalam studi al-qur'an di Paramadina. Kegiatan tersebut sangat menjadi kenangan, karena bahan yang kami susun itu mendapat koreksi dan apresiasi oleh para ahli seperti Cak Nur sendiri, pak Quraisy Shihab, serta para intelektual dan agamawan lain yang tergabung dalam Pengajian Reboan pimpinan Utomo Danandjaja.
Putri kami yang kedua ini sejak kecil tidak begitu menonjol. Dalam pergaulan dia cenderung biasa saja, tidak agresif. Namun dalam urusan belajar dia termasuk rajin dan tekun. Ketika sekolah pada tingkat menengah pertama, Ireka Arsyidah Qurniati atau sering dipanggil Ika, selalu berada pada ranking atas. Saat SMA walau berada pada ranking menengah, kesungguhannya dalam belajar sangat patut mendapat acungan jempol. Sewaktu kelas tiga sempat mengkhawatirkan karena jarang sekali terlihat dia bersantai. Kerja kerasnya dalam belajar itu ternyata mengantarkan dia dapat diterima sebagai mahasiswa pada Universitas Indonesia.
Sekarang Ika sudah selesai kuliah dan telah berhasil menjadi sarjana Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan konsentrasi Ilmu Gizi dengan nilai yang sangat memuaskan.

Eni Fitriana Dinasari

Eni Fitriana Dinasari adalah putri kami yang ketiga. Kata Eni diambil dari bahasa Belanda Een, artinya: satu. Sama juga dengan Eko dalam bahasa Jawa, atau Ika dalam bahasa Sanskerta. Fitriana dari kata Fithri yang berarti: bersih, suci atau fithrah yang mendapat akhiran Na sebagai kata ganti Kami. Kebetulan dia lahir dalam suasana Idul Fithri. Jadi sebagai doa juga agar Eni menjadi orang yang bersih, suci, dengan parameter Fithrah yang diharapkan kaum muslimin sesudah berpuasa bulan Ramadhan. Adapun Dinasari diambil dari kata ad-Din (agama) dan Sari (inti, atau ekstrak). Jadi sarinya agama (Islam), yaitu: Fithrah manusia yang selalu merindukan kebenaran yang hakiki, yakni: Allah. Secara keseluruhan nama itu dipetik dari ayat suci al-Qur'an: "fa aqim wajhaka liddini hanifan fithratallahullati fathara an-nasa alaiha la tabdila li khalqillah". Eni lahirnya sungsang. Kepala duluan. Kata orang, nanti kalau sudah besar, dia cocok untuk memakai pakaian apa saja. Sekarang sudah kelas III SMP, sudah besar. Memang kalau diperhatikan dia gampang untuk tampil menarik. Modal fisik dan wajahnya cukup. Bisa dibilang cantik dan manis. Sejak kecil sudah sering mengundang perhatian orang banyak. Dulu kalau naik bis kota, semua orang di bis itu akan memperhatikan dia, karena dia tidak mau duduk, selalu berdiri, dan berceloteh seperti burung. Anaknya memang aktif, agak berlebih, seperti kakaknya yang pertama, Andro. Waktu kelas I SD dia jarang duduk. Kursinya dia tinggalkan. Selalu keliling dari satu meja ke meja yang lain di kelas itu. Terkadang menggoda kawan sekelasnya. Oleh sebab itu dia kurang memperhatikan pelajaran. Gurunya kerap menyampaikan kepada saya, bahwa semestinya dia selalu berada di ranking atas, elite kelas. Kata gurunya dia cerdas. Tidak ada masalah dalam belajar. Tapi mereka heran, setiap ulangan tidak dapat memperoleh nilai yang tinggi. Pada saat yang bersamaan pergaulannya baik sekali. Teman-temannya sangat memperhatikan dia. Kawannya banyak. Oleh kawannya dia cukup dipercaya. Sampai sekarang begitu. Perhatiannya lebih besar kepada pergaulan dari pada pelajaran.

Tuesday, November 01, 2005

Eisha Arifah Widya Puspita

Esa adalah putri bungsu kami. Nama lengkapnya Eisha Arifah Widyapuspita. Nama Eisha diambil dari nama: Aisyah binti Abubakar, isteri Rasulullah saw yang dipandang sebagai sosok perempuan utama muslimah. Lalu kata Arifah dipetik dari kata padang Arafah yang menjadi simbol monumental pertemuan manusia pertama Adam dan Hawa. Kebetulan sekali  kelahiran Esa setelah saya pulang dari perjalan ke tanah suci. Adapun kata Widyapuspita memiliki makna sebagai harumnya bunga ilmu pengetahuan.
Jadi secara keseluruhan nama ini berupa harapan, atau doa agar Esa menjadi perempuan utama, sebagai referensi bagi masyarakat lingkungannya dalam menyerahkan diri kepada Tuhan dengan landasan ilmu pengetahuan yang dimilikinya.
Panggilan Esa juga bermakna satu, tunggal, atau pertama; memiliki makna filosofis yang sama dengan panggilan terhadap semua saudaranya yang lebih tua: Eko, Ika, dan Eni. Dengan panggilan ini diharapkan juga agar Esa tidak merasa berbeda hanya karena sebagai anak bungsu dalam struktur  keluarga. Atau sebaliknya, putra putri kami yang lebih tua tidak merasa dirinya lebih hanya karena perbedaan usia.